Jumat, 05 Juli 2013

Kriteria Manajer Proyek yang Baik

Manajer Proyek (Project Manager)
PM adalah posisi pertama yang harus diisi. Pekerjaan ini diisi ketika proyek masih sekilas di mata orang, karena PM yang pertama menentukan apakah sebuah proyek dapat dikerjakan atau tidak. Manajer tingkat atas menugaskan PM. Mereka mencari seseorang yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik. Keahlian-keahlian lain yang mereka cari adalah pengetahuan tentang manajemen proyek, kemampuan mengorganisasi, dan keahlian teknik.
Kadang-kadang pekerjaan PM membutuhkan aksi yang tidak umum seperti berkata “Tidak” untuk perubahan permintaan yang menyimpang, mengumumkan kesalahan, atau mendisiplinkan orang-orang. PM harus mengetahui orang-orang yang terlibat sama seperti dalam politik, prosedur-prosedur pemakaian, dan proyek perusahaan. Keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini adalah kepemimpinan yang luas, kemampuan bernegosiasi dan diplomasi.

Kriteria manajer proyek :
1. Mempunyai orientasi yang kuat pada pencapaian tujuan, seperti :
    - kaya akan inisiatif
    - luwes dalam pendekatan tanpa mengorbankan sasaran pokok
    - bertanggung jawab
    - kritis

2. Bergairah terhadap tantangan, yaitu ia harus memiliki sikap yang selalu bersedia dan siap menghadapi tantangan juga harus dapat meyakinkan kepada bawahan bahwa persoalan-persoalan terseut adalah wajar dan merupakan tantangan yang harus dihadapi.

3. Menguasai aspek hubungan antara manusia karena adanya hubungan vertikal dan horizontal.

4. Generalisasi dan spesifikasi, yaitu menguasai keseluruhan kegiatan agar tercipta sinkronisasi kegiatan di bidang-bidang fungsional menjadi suatu kegiatan yang terpadu.

5. Kekuasaan berasal dari keahlian expert power dan referent power.
    - expert power : kemampuan untuk mengajak anggotanya untuk melakukan sesuatu demi terselenggaranya proyek, karena ia dianggap memiliki pengetahuan.
    - referent power : kemampuan untuk membuat para peserta proyek tanggap terhadap keinginan-keinginannya.


Referensi :

COCOMO (Constructive Cost Model)

Pada tugas Vclass dengan mata kuliah Pengelolaan Proyek Sistem Informasi kali ini saya disuruh untuk membahas mengenai COCOMO. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan COCOMO? Sejujurnya saya pun baru pernah mendengar tentang kata tersebut. Untuk pembahasan lebih lanjut, akan saya rangkum sebagai berikut.

APA ITU COCOMO?
COCOMO / Constructive Cost Model adalah sebuah model yang didesain oleh Barry Boehm untuk memperoleh perkiraan dari jumlah orang-bulan yang diperlukan untuk mengembangkan suatu produk perangkat lunak. Satu hasil observasi yang paling penting dalam model ini adalah bahwa motivasi dari tiap orang yang terlibat ditempatkan sebagai titik berat. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dan kerja sama tim merupakan sesuatu yang penting, namun demikian poin pada bagian ini sering diabaikan.
COCOMO pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 Barry Boehm W. ‘s Book ekonomi Software engineering sebagai model untuk memperkirakan usaha, biaya, dan jadwal untuk proyek-proyek perangkat lunak. Ini menarik pada studi dari 63 proyek di TRW Aerospace mana Barry Boehm adalah Direktur Riset dan Teknologi Perangkat Lunak pada tahun 1981. Penelitian ini memeriksa proyek-proyek ukuran mulai dari 2.000 sampai 100.000 baris kode, dan bahasa pemrograman mulai dari perakitan untuk PL / I. Proyek-proyek ini didasarkan pada model pengembangan perangkat lunak waterfall yang merupakan proses software umum pembangunan di 1981.
Referensi untuk model ini biasanya menyebutnya COCOMO 81. Pada tahun 1997 COCOMO II telah dikembangkan dan akhirnya diterbitkan pada tahun 2000 dalam buku Estimasi Biaya COCOMO II Software dengan COCOMO II. adalah penerus dari COCOMO 81 dan lebih cocok untuk mengestimasi proyek pengembangan perangkat lunak modern. Hal ini memberikan lebih banyak dukungan untuk proses pengembangan perangkat lunak modern, dan basis data proyek diperbarui. Kebutuhan model baru datang sebagai perangkat lunak teknologi pengembangan pindah dari batch processing mainframe dan malam untuk pengembangan desktop, usabilitas kode dan penggunaan komponen software off-the-rak. Artikel ini merujuk pada COCOMO 81. Motivasi utama dari model COCOMO adalah untuk untuk membantu mengetahui konsekuensi biaya dari keputusan yang akan diambil saat commissioning, developing, and supporting produk perangkat lunak.

JENIS-JENIS COCOMO
A. Basic COCOMO
Menghitung usaha pengembangan perangkat lunak (dan biaya) sebagai fungsi dari ukuran program. Ukuran program dinyatakan dalam ribuan estimasi baris kode (KLOC).
Model 1: Basic COCOMO (COCOMO I 1981)
Model static single valued yang menghitung kemajuan dan biaya pengembangan perangkat lunak sebagai fungsi dari ukuran program (dalam LOC) . Menentukan anggaran dasar dari suatu proyek pengembangan sistem. Rumus yang digunakan:

E              =  Nilai anggaran awal
a,b,c,d  =  nilainya tergantung pada proyek, a(optimis), b(pesimis)
KDLOC  =  Kilo of Delivered Lines Of souce Code

Model 2 : Intermediate COCOMO (COCOMO II 1999)
Menghitung kemajuan pengembangan perangkat lunak sebagai fungsi dari ukuran program dan kumpulan komponen biaya lainnya. Rumus yang digunakan:

E              =  Nilai anggaran awal
a,b          =  Nilainya tergantung pada proyek, a(optimis), b(pesimis)
KDLOC  =  Kilo of Delivered Lines Of souce Code
C             =  Penggerak komponen biaya yang mempengaruhi satuan usaha

COCOMO membedakan perhitungan terhadap tiga jenis kelas proyek perangkat lunak sebagai berikut :
1.Organic (experience and less stringent, small team) : tim kecil dengan pengalaman cukup baik dan kebutuhan sistem yang relatif sederhana.
2.Semi-detached (fall between two types) : tim berukuran menengah yang berpengalaman dengan lingkungan kerja yang lebih kompleks.
3.Embedded projects (ambitious and novel; little experience and stringent) : pengembangan berdasarkan pada kebutuhan dengan kompleksitas tinggi dan batasan atau constraint yang ketat.

B. Intermediate COCOMO
Intermediate COCOMO menghitung usaha pengembangan perangkat lunak sebagai fungsi ukuran program dan sekumpulan “cost drivers” yang mencakup penilaian subjektif produk, perangkat keras, personil dan atribut proyek. Ekstensi ini mempertimbangkan satu set empat “cost drivers”, yang dijabarkan dalam kategori dan subkatagori sebagai berikut :
a. Atribut produk (product attributes)
* Reliabilitas perangkat lunak yang diperlukan (RELY)
* Ukuran basis data aplikasi (DATA)
* Kompleksitas produk (CPLX)

b. Atribut perangkat keras (computer attributes)
* Waktu eksekusi program ketika dijalankan (TIME)
* Memori yang dipakai (STOR)
* Kecepatan mesin virtual (VIRT)
* Waktu yang diperlukan untuk mengeksekusi perintah (TURN)

c. Atribut sumber daya manusia (personnel attributes)
* Kemampuan analisis (ACAP)
* Kemampuan ahli perangkat lunak (PCAP)
* Pengalaman membuat aplikasi (AEXP)
* Pengalaman penggunaan mesin virtual (VEXP)
* Pengalaman dalam menggunakan bahasa pemrograman (LEXP)

d. Atribut proyek (project attributes)
* Penggunaan sistem pemrograman modern(MODP)
* Penggunaan perangkat lunak (TOOL)
* Jadwal pengembangan yang diperlukan (SCED)

C. Detailed COCOMO
Detailed COCOMO merupakan penggabungan semua karakteristik versi intermediate dengan penilaian dampak cost driver di setiap langkah (analisis, desain, dll) dari proses rekayasa perangkat lunak. Model rinci kegunaan yang berbeda merupakan upaya pengali untuk setiap driver biaya atribut. Tahap ini untuk menentukan jumlah usaha yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap tahap. Pada DETAILED COCOMO, upaya dihitung sebagai fungsi dari ukuran program dan satu set driver biaya yang diberikan sesuai dengan tiap tahap siklus hidup rekayasa perangkat lunak. Fase yang digunakan dalam COCOMO rinci perencanaan kebutuhan dan perancangan perangkat lunak, perancangan detil, kode dan menguji unit, dan pengujian integrasi.


Referensi :
http://swestimahardini.wordpress.com/2013/04/17/cocomo-constructive-cost-model/
http://haryanto.staff.gunadarma.ac.id/

Jumat, 17 Mei 2013

Sekilas tentang UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)


                Menurut UU RI No. 11 tahun 2008 Pasal 1, yang dimaksud Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan atau media elektronik lainnya.
                Kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik atau sering disebut e-commerce, termasuk di dalamnya perdagangan/bisnis online, saat ini memang semakin marak, khususnya disebabkan karena adanya kemudahan untuk memulai bisnis (start-up), kecilnya modal, biaya pemasaran dan distribusi yang dapat diminimalisir, dengan potensi profit yang besar. Padahal tidak sedikit resiko yang dapat dialami oleh para pelaku bisnis online. Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE mengatur bahwa setiap pemanfaatan teknologi informasi harus didasarkan pada asas “kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini tertuang dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum…” Hal ini menyiratkan bahwa pelaku usaha jual-beli online harus mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Contohnya setiap transaksi bisnis online kebanyakan melakukan pembayaran melalui kartu credit, internet banking, electronic cash, dll. Mengutip pendapat penggiat teknologi informasi Budi Rahardjo dalam diskusi pada Forum of Incident Response and Security Teams di Bali 30 Maret 2012, bahwa tidak ada satupun di dunia ini sistem elektronik yang sempurna dan benar-benar aman. Termasuk dalam sistem pembayaran online tentunya. Seperti yang kita ketahui saat ini sudah banyak tindak kejahatan yang dilakukan melalui dunia maya akibat banyaknya transaksi online. Untuk meminimalisir terjadinya kerugian, idealnya dalam sebuah transaksi elektronik dibuatkan/terdapat sebuah “Kontrak Elektronik”. Kontrak Elektronik dalam UU ITE diartikan sebagai “perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik”. Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik bersifat mengikat para pihak (Pasal 18 UU ITE). Sehingga dari sisi hukum, transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik memiliki kekuatan yang sama dengan transaksi pada umumnya (transaksi konvensional).
Hal yang berkaitan langsung dengan pidana dalam praktik bisnis online dalam UU ITE hanya terkait informasi bohong atau menyesatkan terhadap konsumen (Pasal 28 ayat [1]) dan perbuatan memproduksi atau memperdagangkan perangkat keras atau perangkat lunak yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan pidana UU ITE (Pasal 34 ayat [1]). Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan, pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (1) UU ITE dapat dikenai pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Dalam hal terdapat dugaan tindak pidana transaksi elektronik, penyidik pejabat polisi berwenang untuk melakukan penyidikan, penggeledahan, penyitaan terhadap sistem elektronik, penangkapan maupun penahanan. Di sisi lain, secara perdata, apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan atas kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik, pihak tersebut dapat menggugat terhadap pihak yang menyelenggarakan transaksi elektronik tersebut.
Intinya setiap orang harus selalu waspada atas setiap tindakan yang dilakukan baik melalui transaksi secara langsung ataupun secara online, karena tindak kejahatan dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja.


Referensi :
Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2008 tentang ITE

Sekilas tentang UU RI No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi


Menurut UU RI No. 36 tahun 1999 yang dimaksud dengan Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optic, radio atau sistem elektromagnetik lainnya. Berdasarkan Asas dan Tujuan Pasal 3, Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
                Seiring dengan perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung saat ini telah mendorong terjadinya perubahan pada lingkungan telekomunikasi yang baru dan perubahan cara pandang, sehingga perlu diadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Perkembangan teknologi komunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunanya sebagai salah satu komoditas perdagangan yang memiliki nilai komersial yang tinggi dan mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
                Salah satu contoh ‘keanehan’ hukum menurut saya yaitu misalnya pada Pasal 40 yang berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”, berarti setiap orang memiliki hak untuk dapat melakukan komunikasi dengan orang lain tanpa harus diketahui oleh umum. Tetapi dalam kondisi yang berbeda, peraturan tersebut dapat disimpangi sehingga diperbolehkan untuk melakukan penyadapa, hal itu dapat dilihat pada Pasal 42 ayat 2 poin a & b yang berbunyi, “Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas : a). permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian RI untuk tindak pidana tertentu, b). permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan UU yang berlaku”. Dan hak privasi yang kita miliki itu termasuk derogable rights yang berarti hak-hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara dalam keadaan tertentu.


Referensi :
Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Rabu, 15 Mei 2013

Sekilas tentang UU RI No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta

                Menurut UU RI No. 19 tahun 2002 yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan UU yang berlaku. Sedangkan Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam bentuk ilmu pengetahuan, seni, sastra, atau teknologi.
Pelanggaran atau penyalahgunaan hak cipta bisa dalam bentuk apa saja, seperti mengaku sebagai si pencipta, memalsukan hasil ciptaan, menyebarkan hasil ciptaan secara illegal, tidak mempunyai izin untuk menggunakan hasil ciptaan, dll. Seperti yang kita tahu, banyak sekali kasus pelanggaran atau penyalahgunaan hak cipta yang dialami oleh bangsa Indonesia. Bukan hanya bangsa Indonesia yang menjadi korban, tetapi juga bertindak sebagai pelaku pelanggaran.
Yang paling sering terjadi yaitu pengakuan Negara Malaysia atas kebudayaan Indonesia yang mereka klaim sebagai kebudayaan mereka. Berikut beberapa daftar kasus kebudayaan Indonesia yang pernah diakui oleh Malaysia :
1. Malaysia mendaftarkan tarian Tor-tor dan alat musik Gordang Sambilan dalam Seksyen 67 sebagai Akta Warisan Kebangsaan 2005. Padahal tarian Tor-tor merupakan salah satu tarian yang dimiliki oleh masayarakat suku Batak, Sumatera Utara.
2. Batik merupakan salah satu yang pertama diklaim oleh Malaysia sebagai warisan kebudayaan milik negaranya. Klaim atas batik ini akhirnya dimenangkan oleh Indonesia melalui Unesco pada 2 Oktober 2009.
3. Tari Pendet yang merupakan tarian khas asal Pulau Bali juga diklaim oleh Negeri Jiran melalui sebuah iklan pariwisata ‘Visit Malaysia’.
4. Salah satu website Malaysia menyebutkan bahwa Angklung berasal dari Malaysia tepatnya dari kota Johor.
5. Awal dari klaim ini adalah pada saat website Kementrian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia memasang gambar Reog Ponorogo dan menyebutnya sebagai tarian asal Malaysia yaitu Tari Barongan.
6. Pada bulan Oktober 2007, iklan pariwisata Malaysia yang bertema ‘Malaysia Truly Asia’, menggunakan penggalan dari lirik lagu Rasa Sayange yang merupakan lagu khas Maluku.
Menurut Ketentuan Pidana Pasal 72 diantaranya :
(1). Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau paling sedikit Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak RP 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
(2). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sebenarnya masih banyak lagi kasus kebudayaan Indonesia yang diklaim oleh Malaysia. Tetapi mengapa terlalu sering kasus seperti ini terjadi pada bangsa kita? Apa karena bangsa kita dianggap lemah oleh Negara lain? Apa karena di hukum Indonesia tidak cukup ‘hebat’? Atau karena kita sebagai bangsa Indonesia yang tidak pernah mengetahui apa saja sebenarnya kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa kita, sehingga Negara lain mencari celah untuk mengakuinya. Oleh karena itu, kita jangan pernah segan untuk mempromosikan dan ‘memamerkan’ semua kebudayaan asli Indonesia yang begitu beraneka ragam dan patut dilestarikan.



Referensi :
Undang-Undang Republik Indonesia No.19 tahun 2002